Sunday 4 January 2015

Kisah Sepeda Bututku Dan Suamiku

Bismillahirrahmanirrahiim...

Suatu Hari….pada enam belas tahun yang lalu,

Suamiku, mas Toto punya sebuah sepeda ontel pinjaman dari adik bungsunya. Karena kami belum mampu membelinya. Alhamdulillah dengan sepeda ini mas Toto cukup terbantu kalau mau kemana-mana. Maksudnya nggowes yang tak jauh dari rumah untuk suatu keperluan.

Kami berdua ketika itu masih tinggal bersama ibuku. Bapak sudah wafat beberapa tahun sebelum kami menikah. Dan anak satu-satunya kami yang kebetulan perempuan waktu itu masih berusia 2 tahun.

Dengan sepeda ontel inilah mas Toto biasa kekota yang jaraknya hanya 1 kilometer dari tempat tinggal kami. Pusat kota kecamatan yang lumayan ramai. Daerah pertokoan pecinan yang sarat dengan jualan apa saja. Dari mulai peniti hingga elektronik yang lumayan mahal harganya bisa diperoleh dideretan pecinan ini.

Ibu suka minta tolong dibelikan obat ke Toko Obat yang ada di pecinan ini. Dan jika Ibu sudah minta tolong, dengan ikhlasnya mas Toto langsung menyambar sepedanya dan nggowes ( sepedaan ) ke pecinan untuk mencari obat yang dipesan Ibu.

Hanya dalam hitungan tak kurang dari setengah jam biasanya mas Toto sudah kembali. 

Suatu hari, tidak seperti biasanya, aku kok terlintas dalam pikiranku, betapa berjasanya sepeda kepunyaan adik ipar ini bagi kami sekeluarga termasuk bagi Ibu yang sering minta dibelikan sesuatu ke pecinan.

Bagaimana ya jika sepeda ini dicuri orang ? 

Wah tentu kami sangat kehilangan. Walau nilai sepeda kepunyaan adik ipar ini tak begitu mahal jika dijual, namun jika tidak ada tentu jadi repot kalau mau nggowes kemana-mana untuk mencari keperluan sehari-hari.

Seperti kompak rupanya antara aku dan suamiku. Malam itu juga entah ada bisikan apa dalam dirinya, kok tiba-tiba ingin meletakkan sepeda dengan posisi stang mengarah kepintu keluar dimana sepeda itu biasa diletakkan pada malam hari. Padahal setiap harinya jika meletakkan sepeda, selalu bagian belakang tempat untuk membonceng itulah yang berada mengarah kepintu.

Aku tak rasanan kepada mas Toto tentang lintasan pikiranku, bagaimana jika tiba-tiba saja sepeda itu dicuri orang. Dan ketika suamiku meletakkan sepeda itu dengan posisi yang tidak biasanya, akupun tidak menanyakannya. Kuanggap hal tersebut sesuatu yang tak penting untuk ditanyakan he he..Ya hanya terasa aneh saja melihat perubahan kebiasaan suami dalam meletakkan sepedanya.

Benar saja,

Ketika kami bangun dini hari hendak sholat malam, sepeda kami sudah tak ada ditempatnya. Ditanya pada semua penghuni rumah tak ada yang tahu, he he alias hilang tanpa jejak.

Kami benar-benar merasa kehilangan saat itu. Bukan sekedar menghayal. Walau hanya sebuah sepeda yang tak seberapa harganya, namun jadi benar-benar repot hari itu tak ada yang bisa untuk nggowes kemana-mana. Ya Allah.

Aku lalu berpikir untuk mencari gantinya, sembari mencari tahu kira-kira siapa yang tega mengambil harta satu-satunya yang ada pada kami, bahkan sepeda itu bukan milik kami. 

Kami berusaha ikhlas. 

Yang penting saat itu bagaimana kami segera bisa mendapatkan gantinya, agar tidak repot lagi kalau mau ke pecinan atau untuk mencari suatu keperluan.

Alhamdulillah, setelah tetangga tahu bahwa sepeda kami telah hilang dicuri orang, ada salah satu tetangga kami yang merelakan sepedanya untuk kami beli dengan harga yang miring.

Walhasil, hanya dalam satu hari kami kehilangan sepeda, alhamdulillah kami telah mempunyai gantinya bahkan sekarang menjadi sepeda milik kami sendiri.

Alhamdulillahnya, adik ipar juga tak mempersoalkan tentang sepedanya yang hilang dicuri orang. Sudah hilang ya sudah, mudah2an segera bisa punya sepeda lagi.

Dengan sepeda baru yang notabene bekas itulah mulai saat itu menggantikan sepeda yang hilang, jika nggowes kemana-mana. Bahkan akhirnya dengan sepeda itulah suamiku mengantar putriku sekolah dari mulai TK hingga SMP.

Subhanallah. Allah Hu Akbar....

Ketika putriku sekolah di TK dan SD, sekolahnya masih cukup dekat. Jarak dari rumah kontrakan kami hingga ke sekolahnya hanya sekitar 1 km. Jadi suamiku mengantarnya tak begitu lelah, demikian juga pantat putriku tak begitu pegal dalam goncengan karena jaraknya yang tak begitu jauh.

Hatiku sering miris jika mengenang perjuangan suamiku ketika tiap-tiap hari mengantar dan menjemput putriku ke sekolahnya. Mengapa ? Karena suamiku kedua matanya sudah minus 7 dan minus 10, dan keuangan kami tak mencukupi untuk membelikan kacamata minus yang cukup baik untuk beliau.

Sehingga dengan kaca mata yang terbeli oleh keuangan kami, saat itu jarak pandang yang bisa dijangkau oleh penglihatan suamiku hanya beberapa meter saja, katanya hanya sekitar 2 meteran. Pantas saja banyak tetangga yang pada awalnya menyangka bahwa suamiku adalah orang yang angkuh karena jarang menyapa orang, dan bahkan kalau disapa duluan sering terlambat menyapanya kembali. 

Astaghfirullahaladziim...jika tahu keadaan yang sebenarnya ? Karena pandangan mata sumiku hanyalah remang-remang dalam melihat sesuatu. Katanya, jika melihat orang, tak bisa melihat dengan jelas bagaimana mukanya, hanya bisa melihat bayangan bentuknya saja.

Bisa dibayangkan betapa bahayanya mengendarai sepeda ontel dijalan raya dengan jarak pandang penglihatan hanya beberapa meter tak lebih dari 2 meter. 

Suamiku hanya mengandalkan pada dzikirnya yang teramat kuat, agar kami sekeluarga selalu mendapatkan perlindungan Allah SWT. dimanapun kami berada dan kapanpun saja. Terutama ketika sedang mengantar dan menjemput putri kami dari sekolahnya.

Ketika masih sekolah di TK dan SD masih mending, karena jarak rumah kami ke sekolah putri kami hanya 1 km. Tidak demikian setelah putri kami bersekolah di SMP. Jaraknya lumayan jauh ada 7 km dengan tempat tinggal kami, rumah kakak ipar yang kami tempati hingga sekarang ini, sebab kami belum mempunyai rumah sendiri.

Padahal bukan sekedar mengantar dan menjemput sekali pp. Mengantar pada pagi harinya, 7km. Kemudian ditinggal pulang mengayuh 7 km lagi. Sudah 14 km. Siangnya jam 12.15 ketika sekolah sudah bubaran suami berangkat lagi kesekolah putri kami untuk menjemputnya, 7 km lagi berarti jumlah yang dijalani sudah 21 km. Nah pulang lagi, bertambah dengan 7 km lagi berarti jarak yang ditempuh oleh suami adalah 28 km.

Itu adalah jarak yang ditempuh suamiku mengayuh sepeda setiap hari selama 2 tahun. Karena pada tahun ketiga SMPnya putriku sudah berani naik angkot sendiri, juga karena malu sudah kelas 3 SMP kok ke sekolah masih diantar sama bapaknya.

Jika mengantar pagi-pagi mau ditunggui juga tidak mungkin karena terlalu banyak waktu yang terbuang untuk menunggu. Dari jam 06.45 hingga jam 12.15 berapa jam sajakah ?

28 km perjalanan itu adalah jarak yang ditempuh setiap harinya. Lha kalau hari Jumat, kan ada pelajaran ekstra kulikuler pramuka, sehingga sore hari jam setengah 3 harus berangkat lagi mengantar latihan. Praktis jarak tempuhnya menjadi 28 km ditambah 7 km lagi sehingga berjumlah 35 km. Jika ditambah dengan perjalanan ketika pulang dari latihan pramuka, maka setiap hari Jumat perjalanan nggowes yang ditempuhnya adalah total 42 km.

Apakah yang menjadi istimewa dari perjuangan ini teman ?

Suamiku menempuh perjalanan melewati jalan raya kelas 3 dimana lalu lalang motor dan mobil begitu banyaknya, baik yang searah maupun yang berlawanan arah, dengan mata minus 7 dan minus 10 tanpa kacamata yang cukup memadai untuk beliau !!!

Jika bukan karena kasih sayang dan perlindungan Allah SWT. kepada kami sekeluarga, sudah barang tentu setiap saat suamiku akan mengalami musibah kecelakaan berkali-kali mengingat jarak pandang hanya beberapa meter yang mampu dijangkau oleh matanya. Alias pandangannya selalu remang-remang setiap saatnya.

Subhanallah, Alhamdulillah Allah Hu Akbar…Maha Suci Allah dengan setiap perlindungan yang DikehendakiNya bagi tiap-tiap hambaNya. Belum lagi jika tiba musim hujan, dimana terkadang cuaca diliputi mendung gelap gulita, hujan deras campur petir, subhanallah. 

Hanya berbekal sepeda ontel butut, jas hujan dari plastik murahan yang kecantol sesuatu langsung robek, berjuang mengantar putri kami meraih cita-citanya.

Jika mengenang perjuangan beliau, suamiku, tak habis pikir. Bagaimana mungkin dengan sepeda reyot, dengan mata yang remang-remang, dengan ikhlasnya setiap hari mengantar dan menjemput putriku, menempuh jenjang pendidikannya,  agar kelak menjadi anak yang berguna bagi diri dan lingkungannya, mandiri dan bermanfaat bagi banyak orang.

Kini putriku sudah kuliah di Sebuah Perguruan Tinggi Negeri bergengsi di kota Yogyakarta, kota yang terkenal sebagai kota pelajar. Semoga Allah meRidhoinya menjadi anak yang sholehah, patuh dan taat kepada Tuhannya, berbakti kepada kami orang tuanya, dan mandiri masa depannya. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Kini sepeda butut itu masih ada hingga sekarang ini. Anda bisa melihat foto yang terpampang pada halaman ini. Jika diparkir dimanapun tak kan ada yang mau mencurinya, karena tak mempunyai nilai jual saking bututnya, dan diseluruh kabupaten hanya satu-satunya yang mempunyai ciri khas seperti sepeda butut ini, yakni warna merah pada bodynya, dan slebornya sudah pada karatan, serta jok goncengannya sudah rodal radil sangat memelas.

Kami sangat menyayanginya meskipun tak mampu merawatnya. Sepeda inilah sebagai teman suka dan duka kami, dan jasanya sungguh tak terperi.

Alhamdulillahirrabbil’alamiin

Salam Penuh Kebahagiaan,
Niniek SS

No comments:

Post a Comment