Memilih Kebijaksanaan - Nashruddin berbincang-bincang dengan seorang hakim kota. Si hakim kota sering berpikir hanya dari satu sisi.
“Seandainya saja setiap orang mau
mematuhi hukum dan etika, ...” kata si hakim sedikit ketus.
Nashruddin buru-buru berkata, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”
Hakim mencoba mengelak, “Tapi, coba kita lihat cendekiawan seperti Tuan. Kalau Tuan diberi pilihan, kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan Tuan pilih?”
Nashruddin menjawab seketika, “Tentu saya memilih kekayaan.”
Hakim membalas sinis, “Memalukan! Tuan adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Tuan memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”
Nashruddin balik bertanya, “Kalau pilihan Tuan sendiri?”
Hakim menjawab tegas, “Tentu saya memilih kebijaksanaan.”
Nashruddin berkata, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.
Ibrah yang bisa kita petik dari kisah humor sufi di atas antara lain adalah adab mengkritik.
Tak ada gading yang tak retak. Sesungguhnya kesalahan dan kekhilafan merupakan sifat yang melekat pada setiap diri anak-cucu Adam. Tidak ada seorang pun yang ma'shum selain para nabi dan rasul. Oleh karena itu, setiap manusia mestinya terbuka terhadap kritik.
Meski demikian, ada etika yang patut diperhatikan oleh setiap pihak yang
ingin mengkritik pihak yang dipandang bersalah. Antara lain, pertama, kritikan harus didasarkan pada ilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Hendaknya setiap orang yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar adalah seorang yang alim terhadap apa yang ia katakan."
Kedua, kritikan disampaikan dengan lembut dan santun. Kelembutan dan kesantunan dalam setiap perkara akan mendatangkan kemudahan. Bersikap lembut adalah hukum yang paling mendasar dalam mengkritik, apalagi pihak yang dikritik adalah seorang tokoh yang memiliki pengikut. Bahkan kepada
Fir’aun pun, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimassalam untuk menyampaikan kebenaran dengan lemah lembut, “Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya (Fir`aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” – QS Tha-Ha (20): 44.
Dalam mengkritik, bukan hanya substansi yang diutamakan, cara mengkritiknya pun harus dipertimbangkan. Untuk menyampaikan substansi
“Tuan belum bijaksana”, Nashrudin tidak mengatakannya demikian, melainkan dengan adab yang halus dan tidak langsung, seperti kalimat di atas,
“Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”
Ibrah selanjutnya, ucapan Nasruddin, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan”, merupakan ungkapan yang mengandung makna mendalam, menghimpun satu intisari penting dalam Islam.
Ungkapan ini bukanlah bermakna bahwa hukum boleh direkayasa untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, melainkan bahwa hukum tidak lain diperuntukkan bagi kebaikan dan maslahat manusia. Itulah sebabnya, sebelum segala sesuatunya, hendaklah seorang penegak hukum dan semisalnya, terutama para muballigh, asatidz, guru, dan lain-lain, mengetahui hakikat manusia dan kemanusiaan itu sendiri, agar tidak salah, terutama, dalam menyikapi dan memperlakukan manusia.
Mengenai hakikat ini, Habib Ali Al-Jufri, dalam satu makalahnya yang berjudul Al-Huriyyah fi al-Manzhur al-Islamy bayn an-Nisbiyyah wa al-Ithlaq, pada harian Al-Mishr Al-Yaum, edisi Senin, 6 Ramadhan 1428 H/17 September 2007 M, mengutip firman Allah SWT, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’
Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’
Setelah itu beliau menjelaskan, “Perhatikanlah ayat yang menjelaskan ihwal dijadikannya manusia sebagai khalifah di bumi dan ketakutan para malaikat terhadap manusia di atas muka bumi yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah.
Dengan memperhatikan ayat ini, akan dapat diketahui hikmah dari dipilihnya manusia sebagai khalifah dari awal mula Allah berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’.”
Makna firman Allah ‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’ tidaklah menafikan terhadap pemahaman para malaikat bahwa manusia akan berbuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi ini. Melainkan sebagai penetapan terhadap suatu hakikat yang sangat berharga dan penting, yaitu bahwa keberadaan manusia dan kekhilafahannya di bumi, bukanlah bumi itu sendiri yang menjadi maksud dan tujuannya, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah justru manusia.
Bila yang dituju dan yang dimaksud oleh Allah adalah bumi, pastilah Allah akan memilih hamba-hamba-Nya yang akan memakmurkan bumi dengan sebaik-baiknya dan tidak berbuat kerusakan atau berusaha merusaknya. Memakmurkan bumi bukanlah tujuan hakiki, melainkan sebagai perantara untuk mencapai tujuan, yakni terwujudnya penghambaan dengan sebenar-benarnya dari manusia kepada Allah SWT.
Itulah sebabnya, Allah SWT tidak mencegah adanya berbagai bentuk dan beraneka macam rupa perbuatan dalam mengisi bumi dari orang-orang yang menentang perintah-Nya, bahkan dari orang-orang yang mengingkari sama sekali terhadap adanya Allah SAW. Karena orang-orang yang mengingkari terhadap wujud Allah sekalipun tidak lain adalah pemegang gambaran khilafah dari Allah SWT. Akan tetapi, hakikat khilafah itu sendiri tercegah dari mereka. Dan bentuk tercegahnya hakikat khilafah itu dari mereka yaitu tercegahnya tujuan yang ada di balik gambaran khilafah tersebut, yakni memakmurkan bumi dengan cara yang sesuai dengan tuntutan kehendak Sang Pencipta langit dan bumi, petunjuk-petunjuk-Nya, dan juga segala perintah-Nya.”
Setelah memahami secara singkat perihal hakikat penciptaan manusia sebagai khalifah di atas muka bumi, dapatlah kita menyimpulkan bahwa keberhasilan lahiriah bukanlah tujuan utama bagi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tujuan utamanya adalah terwujudnya penghambaan yang sebenar-benarnya kepada Allah SWT.
Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, dalam kitabnya, Risalah al-Mu`awnah wa al-Muzhaharah wa al-Mu’azarah li al-Raghibin min al-Mu’minin fi Suluk Thariq al-Akhirah, Dar al-Kutub al-Islamiyah, cetakan pertama 1431 H/2010 M, halaman 21, menukil sebuah hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Manusia itu ada empat golongan: Seseorang yang dikaruniai Allah ilmu dan harta dan orang itu menggunakan hartanya dengan ilmunya. Kemudian seseorang yang lain berkata, ‘Bila saja Allah mengaruniaku seperti yang dikaruniakan kepada orang itu, niscaya aku akan berbuat seperti apa yang ia perbuat.’ Maka kedua orang tersebut sama dalam hal pahala. Dan seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah SWT namun tidak dikaruniai ilmu lalu orang tersebut berbuat keburukan dengan hartanya karena kebodohannya. Kemudian seseorang yang lain berkata, ‘Bila saja Allah mengaruniaku seperti yang dikaruniakan kepada orang itu, niscaya aku akan berbuat seperti apa yang ia perbuat. Maka kedua orang tersebut sama dalam hal dosanya’.”
Hadits ini dengan jelas menegaskan, seseorang dengan niatnya yang tulus karena Allah SWT dalam suatu bentuk ibadah, meskipun ia belum dan bahkan tidak melakukannya, yang pada hakikatnya adalah ridha dengan takdir Allah SWT, niscaya akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berniat dan juga melakukannya, dan demikian pula sebaliknya. Karena, terlaksananya niat dalam wujud perbuatan, semuanya tidak lain adalah semata-mata karunia dan pemberian Allah, sama sekali bukan wilayah kemampuan manusia. Yang dituntut dari manusia hanyalah mengarahkan kehendaknya kepada apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam sebuah proses yang disebut sunatullah. Adapun hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Setelah memahami hakikat-hakikat di atas, dapatlah dimengerti bahwa pengandaian sang hakim, “Seandainya saja setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ...” bukanlah pemikiran yang bijak. Karena, bahkan, sesungguhnya Allah pun tidak menghendaki semua makhluk-Nya taat dan patuh kepada-Nya. Kebijaksanaan yang sesungguhnya adalah di saat seorang hamba mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang taat kepada Tuhannya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya sebagaimana dibawa dan dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW, baik dalam muamalahnya terhadap Tuhannya, dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Itulah inti perkataan Nasruddin di atas.
Wallahu a`lam bishshawab.
Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/humor-sufi/960-qmemilih-kebijaksanaan
“Seandainya saja setiap orang mau
mematuhi hukum dan etika, ...” kata si hakim sedikit ketus.
Nashruddin buru-buru berkata, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”
Hakim mencoba mengelak, “Tapi, coba kita lihat cendekiawan seperti Tuan. Kalau Tuan diberi pilihan, kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan Tuan pilih?”
Nashruddin menjawab seketika, “Tentu saya memilih kekayaan.”
Hakim membalas sinis, “Memalukan! Tuan adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Tuan memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”
Nashruddin balik bertanya, “Kalau pilihan Tuan sendiri?”
Hakim menjawab tegas, “Tentu saya memilih kebijaksanaan.”
Nashruddin berkata, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.
Ibrah yang bisa kita petik dari kisah humor sufi di atas antara lain adalah adab mengkritik.
Tak ada gading yang tak retak. Sesungguhnya kesalahan dan kekhilafan merupakan sifat yang melekat pada setiap diri anak-cucu Adam. Tidak ada seorang pun yang ma'shum selain para nabi dan rasul. Oleh karena itu, setiap manusia mestinya terbuka terhadap kritik.
Meski demikian, ada etika yang patut diperhatikan oleh setiap pihak yang
ingin mengkritik pihak yang dipandang bersalah. Antara lain, pertama, kritikan harus didasarkan pada ilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Hendaknya setiap orang yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar adalah seorang yang alim terhadap apa yang ia katakan."
Kedua, kritikan disampaikan dengan lembut dan santun. Kelembutan dan kesantunan dalam setiap perkara akan mendatangkan kemudahan. Bersikap lembut adalah hukum yang paling mendasar dalam mengkritik, apalagi pihak yang dikritik adalah seorang tokoh yang memiliki pengikut. Bahkan kepada
Fir’aun pun, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimassalam untuk menyampaikan kebenaran dengan lemah lembut, “Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya (Fir`aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” – QS Tha-Ha (20): 44.
Dalam mengkritik, bukan hanya substansi yang diutamakan, cara mengkritiknya pun harus dipertimbangkan. Untuk menyampaikan substansi
“Tuan belum bijaksana”, Nashrudin tidak mengatakannya demikian, melainkan dengan adab yang halus dan tidak langsung, seperti kalimat di atas,
“Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”
Ibrah selanjutnya, ucapan Nasruddin, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan”, merupakan ungkapan yang mengandung makna mendalam, menghimpun satu intisari penting dalam Islam.
Ungkapan ini bukanlah bermakna bahwa hukum boleh direkayasa untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, melainkan bahwa hukum tidak lain diperuntukkan bagi kebaikan dan maslahat manusia. Itulah sebabnya, sebelum segala sesuatunya, hendaklah seorang penegak hukum dan semisalnya, terutama para muballigh, asatidz, guru, dan lain-lain, mengetahui hakikat manusia dan kemanusiaan itu sendiri, agar tidak salah, terutama, dalam menyikapi dan memperlakukan manusia.
Mengenai hakikat ini, Habib Ali Al-Jufri, dalam satu makalahnya yang berjudul Al-Huriyyah fi al-Manzhur al-Islamy bayn an-Nisbiyyah wa al-Ithlaq, pada harian Al-Mishr Al-Yaum, edisi Senin, 6 Ramadhan 1428 H/17 September 2007 M, mengutip firman Allah SWT, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’
Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’
Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’.” -- QS Al-Baqarah (2): 30.
Setelah itu beliau menjelaskan, “Perhatikanlah ayat yang menjelaskan ihwal dijadikannya manusia sebagai khalifah di bumi dan ketakutan para malaikat terhadap manusia di atas muka bumi yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah.
Dengan memperhatikan ayat ini, akan dapat diketahui hikmah dari dipilihnya manusia sebagai khalifah dari awal mula Allah berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’.”
Makna firman Allah ‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’ tidaklah menafikan terhadap pemahaman para malaikat bahwa manusia akan berbuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi ini. Melainkan sebagai penetapan terhadap suatu hakikat yang sangat berharga dan penting, yaitu bahwa keberadaan manusia dan kekhilafahannya di bumi, bukanlah bumi itu sendiri yang menjadi maksud dan tujuannya, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah justru manusia.
Bila yang dituju dan yang dimaksud oleh Allah adalah bumi, pastilah Allah akan memilih hamba-hamba-Nya yang akan memakmurkan bumi dengan sebaik-baiknya dan tidak berbuat kerusakan atau berusaha merusaknya. Memakmurkan bumi bukanlah tujuan hakiki, melainkan sebagai perantara untuk mencapai tujuan, yakni terwujudnya penghambaan dengan sebenar-benarnya dari manusia kepada Allah SWT.
Itulah sebabnya, Allah SWT tidak mencegah adanya berbagai bentuk dan beraneka macam rupa perbuatan dalam mengisi bumi dari orang-orang yang menentang perintah-Nya, bahkan dari orang-orang yang mengingkari sama sekali terhadap adanya Allah SAW. Karena orang-orang yang mengingkari terhadap wujud Allah sekalipun tidak lain adalah pemegang gambaran khilafah dari Allah SWT. Akan tetapi, hakikat khilafah itu sendiri tercegah dari mereka. Dan bentuk tercegahnya hakikat khilafah itu dari mereka yaitu tercegahnya tujuan yang ada di balik gambaran khilafah tersebut, yakni memakmurkan bumi dengan cara yang sesuai dengan tuntutan kehendak Sang Pencipta langit dan bumi, petunjuk-petunjuk-Nya, dan juga segala perintah-Nya.”
Setelah memahami secara singkat perihal hakikat penciptaan manusia sebagai khalifah di atas muka bumi, dapatlah kita menyimpulkan bahwa keberhasilan lahiriah bukanlah tujuan utama bagi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tujuan utamanya adalah terwujudnya penghambaan yang sebenar-benarnya kepada Allah SWT.
Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, dalam kitabnya, Risalah al-Mu`awnah wa al-Muzhaharah wa al-Mu’azarah li al-Raghibin min al-Mu’minin fi Suluk Thariq al-Akhirah, Dar al-Kutub al-Islamiyah, cetakan pertama 1431 H/2010 M, halaman 21, menukil sebuah hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Manusia itu ada empat golongan: Seseorang yang dikaruniai Allah ilmu dan harta dan orang itu menggunakan hartanya dengan ilmunya. Kemudian seseorang yang lain berkata, ‘Bila saja Allah mengaruniaku seperti yang dikaruniakan kepada orang itu, niscaya aku akan berbuat seperti apa yang ia perbuat.’ Maka kedua orang tersebut sama dalam hal pahala. Dan seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah SWT namun tidak dikaruniai ilmu lalu orang tersebut berbuat keburukan dengan hartanya karena kebodohannya. Kemudian seseorang yang lain berkata, ‘Bila saja Allah mengaruniaku seperti yang dikaruniakan kepada orang itu, niscaya aku akan berbuat seperti apa yang ia perbuat. Maka kedua orang tersebut sama dalam hal dosanya’.”
Hadits ini dengan jelas menegaskan, seseorang dengan niatnya yang tulus karena Allah SWT dalam suatu bentuk ibadah, meskipun ia belum dan bahkan tidak melakukannya, yang pada hakikatnya adalah ridha dengan takdir Allah SWT, niscaya akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berniat dan juga melakukannya, dan demikian pula sebaliknya. Karena, terlaksananya niat dalam wujud perbuatan, semuanya tidak lain adalah semata-mata karunia dan pemberian Allah, sama sekali bukan wilayah kemampuan manusia. Yang dituntut dari manusia hanyalah mengarahkan kehendaknya kepada apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam sebuah proses yang disebut sunatullah. Adapun hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Setelah memahami hakikat-hakikat di atas, dapatlah dimengerti bahwa pengandaian sang hakim, “Seandainya saja setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ...” bukanlah pemikiran yang bijak. Karena, bahkan, sesungguhnya Allah pun tidak menghendaki semua makhluk-Nya taat dan patuh kepada-Nya. Kebijaksanaan yang sesungguhnya adalah di saat seorang hamba mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang taat kepada Tuhannya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya sebagaimana dibawa dan dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW, baik dalam muamalahnya terhadap Tuhannya, dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Itulah inti perkataan Nasruddin di atas.
Wallahu a`lam bishshawab.
Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/humor-sufi/960-qmemilih-kebijaksanaan
No comments:
Post a Comment