Thursday 6 February 2014

Senam Waitankung ( Bag-3 )

 Ia hanya mengatakan, dengan latihan yang sabar, seseorang akan kebal terhadap banyak penyakit. 

Seandainya sakit pun, penyembuhannya relatif akan lebih singkat. Tapi entah ini keajaiban, atau mungkin kebetulan, beberapa peserta dari Indonesia punya pengalaman cukup unik. 

Haji Alidin Doeana, 63 tahun, umpamanya. Pensiunan perwakilan Garuda di Jerman ini terkena kanker di dalam telinganya, dan ini diketahui sudah agak terlambat, pada Agustus 1985. Setelah berupaya dengan berbagai macam obat selain dari dokter - termasuk misalnya dengan obat minyak tanah dan daun mindi yang beberapa lama lalu dihebohkan itu - akhirnya, atas anjuran seorang teman, ia ke Rotterdam, Negeri Belanda. Sebelum dokter melistrik kanker itu, risikonya sudah diberitahukan. "Pendengaran telinga, penciuman hidung, perasaan lidah akan rusak dan tak berfungsi lagi, ditambah jaringan kulit sekitar leher akan hangus," tutur Alidin menirukan kata dokter tentang akibat bestral itu.

Apa boleh buat, karena sudah merasa putus asa, darah sudah sering mengalir keluar lewat mulut dan telinga, bapak tujuh anak ini setuju . Tiga bulan, sampai April 1986, Alidin diobati dengan penyinaran ini. Akhirnya, dokter pun menyerahkan nasib selanjutnya pasiennya itu kepada Tuhan dan yang bersangkutan sendiri. Dan memang, semua akibat yang dikatakan dokter benar adanya. "Sejak penyinaran itu, saya ke mana-mana selalu dengan istri saya untuk komunikasi dengan orang lain," tuturnya.

Namun, semangat hidup pensiunan ini luar biasa. Ia tak menyerah, dan dari buku-buku, ia tahu, untuk mempertahankan kesehatan, harus berolah raga, banyak istirahat, dan banyak gizi. Mula-mula ia berniat belajar taichi. Tapi sudah nasib, tak menemukan guru di Jakarta bahkan sampai di Malaysia dan Singapura, niatnya gagal. Di Malaysia, ia memang bertemu dengan guru taichi, tapi semua perintah diberikan dalam bahasa Mandarin .

Akhirnya pada 5 Oktober 1986, sewaktu jalan-jalan pagi, Alidin bertemu dengan sekelompok orang yang melakukan senam aneh di bilangan Pintu Barat Senayan. Ia langsung bergabung. Mula-mula dia kira itu taichi. Baru beberapa hari kemudian, ia tahu nama senam aneh tersebut: waitankung. Tak peduli soal nama, karena dorongan Nyonya Alidin, ia terus berlatih .

Pada minggu pertama, Alidin merasa telinganya bertambah sakit. Mungkin karena tak ada reaksi lain, misalnya darah mengalir, ia teruskan ikut latihan tiap pagi selama sekitar satu jam. Pada minggu kedua, bukan cuma rasa sakit di telinga hilang, tapi seperti ada yang terbuka pada telinga kanan dan kiri. Dan beberapa hari kemudian ia benar-benar bisa mendengar kembali. Lalu penciumannya pun berfungsi lagi, dan kemudian lidahnya hidup kembali. Bahkan tak sengaja ia mendapatkan sesuatu yang lain.

Suatu hari, kaca mata plus 4-nya pecah. Ia pun pergi ke dokter, dan diberi resep. Di toko optik, dia kaget. "Kok, lensanya bukan untuk plus 4 tapi plus dua setengah," tuturnya. Itulah, ketika ia mendengar ada rombongan peminat waitankung akan berlatih langsung dengan suhu di Taiwan, ia pun bergabung. Ketika ia mulai mendengar, dokter rutinnya ( karena digolongkan pasien berisiko tinggi, ia selalu diperiksa berkala ) pun heran. Setelah dokter itu diberi tahu bahwa ia melakukan waitankung, dokter pun acuh tak acuh, "cuma mengatakan untuk meneruskan senam itu. Ia tak berkomentar apa-apa," kata Alidin.

Bahkan di Tainan, Haji Chang Chih-tung menganggap Alidin paling jago waitankungnya, dan agar kankernya bisa dilawan benar-benar, guru itu "menganjurkan saya melakukan latihan juga sehabis magrib selama satu jam".

Salah satu yang datang dari Indonesia adalah juga Sentot Otoiskandardinata. Bekas dirjen perhubungan darat ini menderita serangan darah tinggi dan separuh tubuhnya lumpuh.
Ia datang bertongkat, diantar istrinya dengan harapan yang besar. Bapak ini memang tak bisa melakukan waitankung seperti yang sehat. Toh, sambil duduk di kursi, tiap ada latihan, ia mencoba bergerak-gerak juga. Kemudian, dengan bantuan Mou Cheng-shih, salah seorang murid utama Chang Chih-tung, pelan-pelan kesehatannya membaik. Bantuan itu berupa urutan di tangan dan kaki kanan yang lumpuh. Kelihatannya urutan biasa saja. Tapi orang bilang, Mister Mou, demikian ia biasa dipanggil, pensiunan tentara berusia sekitar 70 tahun itu mengalirkan tenaganya lewat urutan tangan.

"Saya memang merasakan ada aliran panas ketika Mister Mou mengurut saya," kata Pak Sentot, sewaktu masih mengikuti latihan di Taichung. Sampai pulang ke Indonesia memang lumpuhnya belum sembuh benar. Tapi ia sudah bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Benarkah semuanya itu berarti waitankung, senam fisik untuk kesehatan ( waikung berarti latihan fisik untuk sehat ), bisa juga menyembuhkan penyakit, wallahualam bisawab.

Di zaman ketika kesehatan fisik lebih dilihat dari kaca mata ilmu kedokteran Barat, semuanya ini memang terdengar mirip takhyul . Dalam ilmu pengobatan tradisional Cina, tubuh yang sehat dianggap memiliki   "yin" dan "yang" yang harmonis.

Bila orang sakit, tentulah salah satu dari unsur itu berlebih atau kurang.

Konon, senam-senam macam taichi-chuan, waitankung, cikung, misalnya, membuat dua faktor itu selalu seimbang. Tapi apa itu yin dan yang susah menunjukkan benda kongkretnya. Dalam buku Chinese Medicine karya Ted J. Kaptchuk, diterangkan dua istilah itu lebih metafisis sifatnya, lebih merupakan simbol untuk menggambarkan nilai hubungan dalam alam semesta ini. Juga merupakan dasar jalan atau cara berpikir.

Dua istilah itu bukan menunjuk pada materi. Sayangnya, belum terdengar satu penelitian sungguh-sungguh terhadap senam tradisional untuk kesehatan ini. Boleh jadi gerakan-gerakan itulah yang menyebabkan, misalnya, titik-titik akupungtur dalam tubuh dirangsang, dan karenanya orang lalu jadi sehat karena aliran darah berjalan lancar, metabolisme berjalan baik. Siapa tahu?

Haji Chang Chih-tung terang tidak bergurau. Apalagi, seperti sudah diceritakan juga, tampaknya lelaki ini susah tersenyum - meski wajahnya tak tampak angker, melainkan mencerminkan keramahan. Ia tak sembarangan menemukan kitab lalu menyebarluaskannya. Lima belas tahun ia praktekkan waitankung. Dan sebelum yakin benar bahwa ini senam bermanfaat, ia masih menunggu sebelas tahun untuk menerima murid.

Orang yang mengaku tak pernah memikirkan diri sendiri ini baru sempat menunaikan ibadat haji pada 1980. Pulang dari Mekah, ia semakin mantap dengan waitankung. Ceritanya, suatu hari ia tersesat di Madinah, tak bisa pulang ke asrama. Bukannya ia malu bertanya lalu tersesat, tapi waktu itu dialah satu-satunya jamaah haji dari Taiwan, dan ia tak bisa berbahasa lain selain Mandarin.

Maka, Chih-tung, waktu itu sudah 60 tahun, lalu berjalan saja lurus berdasarkan instink. Di saat ia mulai capek, dan sedikit putus asa, ia pun berdoa. Tiba-tiba satu sentuhan di pundak kanannya, yang terasa begitu berat, membuat ia berhenti berjalan. Lalu menengok ke belakang. Wah, orang bersurban yang pernah menemuinya di tahun 1965, ketika ia ragu mau berbuat apa dalam hidup ini, muncul di depannya. Chih-tung cuma terbengong-bengong. Orang itu, begitu ceritanya, tersenyum, lalu menunjuk ke suatu arah. Chih-tung paham, ia disuruh berjalan ke arah tersebut.

Singkat kata, tak lama kemudian ia sampai di depan asrama tempatnya menginap. Haji Chih-tung memang dilahirkan dalam keluarga pemeluk Islam. "Nenek moyang saya Islam," katanya. Bila kemudian ia memilih kungfu Tao, memang ada alasannya.

Dalam kitab Tao Te Ching, yang menyimpan ajaran Tao, menurut dia, tersebar kata yang artinya "Islam". Chin-seng, menurut kamus, memang berarti "pikiran yang tenang", atau "pasrah".

Dan Islam memang juga berarti pasrah. Ini suatu kebetulan, atau memang Lao Tzu yang disebut juga Lao Tse atau Lu Shun, pencipta ajaran Tao, meramalkan masa depan dan menunjuk pada kelahiran Nabi Muhammad saw. Dan bila mau dicari-cari, mau dihubung-hubungkan, dalam waitankung ada gerakan-gerakan yang memberi kesan mirip orang berwudu.

Yakni setelah dua belas jurus selesai, ada pemijatan titik-titik akupungtur, dengan ibu jari dan jari tengah. Di awal pemijatan inilah, kedua telapak tangan digosok-gosokkan, mirip awal orang mengambil wudu. Tapi, memang, ketenangan jiwa dan kesegaran jasmani yang diperoleh dari latihan waitankung agak susah dibuktikan kepada orang lain.

"Kalau saya sehat, itu saya yang merasakannya. Orang lain, dengan hanya melihat saya, 'kan susah mengetahuinya," kata Brigjen (pur) Supardi, bekas Irjen Departemen P & K, salah seorang pemula waitankung di Indonesia.

Percaya atau tidak pada hasil latihan waitankung, yang jelas peserta latihan bersama ke-26 mestinya bukan orang-orang yang mudah percaya pada yang mustahil.

Song Chang-ki, ketua waitankung Korea Selatan itu, umpamanya, adalah guru besar sinologi.

Kemudian rombongan dari Amerika Serikat, yang terdiri sekitar 20-an orang, sebagian besar adalah sarjana-sarjana di bidang fisioterapi, dan beberapa sarjana psikologi. Dan dibandingkan dengan peserta dari negara lain, rombongan AS relatif lebih muda-muda, baru berusia 30-40 tahun. Salah seorang yang dari AS itu adalah Miss Helbing, sarjana fisioterapi dari Florida, mengaku masih 26 tahun. Ia baru praktek waitankung sekitar tiga minggu, "Tapi saya merasa banyak memperoleh kesegaran tubuh," ceritanya.

Sebenarnya, ia telah menjalankan yoga selama 12 tahun, tapi yang diperolehnya tak sebesar tiga minggu berwaitankung. Boleh jadi ini hanya semacam rasa kagum pada hal baru. Tapi bisa juga, karena telah melakukan yoga 12 tahun, dia banyak memperoleh hasil dengan hanya praktek waitankung tiga minggu.

Yang jelas, waitankung memang lebih praktis dikerjakan daripada taichi-chuan, misalnya. Kata Yaw Hwa Chin, 31, guru karate Dan-4, orang Malaysia yang menjadi warga negara Swiss, "Saya belajar taichi enam tahun, itu berat, karena semua gerakan bertumpu pada kuda-kuda satu kaki. Waitankung ini, rasanya mudah." Orang yang menikah dengan wanita Swiss ini memang mencari nafkah dengan mengajar karate dan taichi di Zurich, Swiss.

Pada mulanya ia belajar waitankung karena tak ingin ketinggalan zaman. Akhirnya, di hari terakhir latihan bersama, ia mengakui, bagi mereka yang sudah berumur, waitankung mungkin lebih cocok. "Jurusnya tak ruwet. Tapi apa untungnya bagi yang latihan bela diri, saya belum tahu. Mau saya riset dulu," katanya.

Haji Chang Chih-tung memang tak memaksa orang langsung mempercayai waitankung. Dalam satu acara makan bersama di sekretariat Waitankung, Taipei, sambil menghembuskan asap rokok 555-nya - satu-satunya kemewahan yang dia punyai - katanya, "Sebenarnya, waitankung, setelah membuat badan sehat, pun membuat jiwa jadi damai. Terasa kita lebih dekat dengan Allah." Barangkali itu yang dimaksudnya dengan waitankung, menyatukan langit dan bumi .

Semoga Bermanfaat…
Salam Sehat Sejahtera Selalu,
Disalin Oleh : NiniekSS
Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1987/01/24/SEL/mbm.19870124.SEL33159.id.html

No comments:

Post a Comment