Thursday 6 February 2014

Senam Waitankung ( Bag-2 )

 Akhirnya ia yakin menemukan bagian yang hilang itu.
Mula-mula cuma seorang murid yang belajar. Lalu beberapa orang. Kemudian, satu-dua murid, yang memang berpenyakitan, merasa sembuh. Waktu itulah, seorang murid, mungkin karena rasa terima kasihnya, menulis surat pembaca di sebuah surat kabar. Yakni tentang pengalamannya mempraktekkan senam kuno itu.
Maka, berdatanganlah orang orang tua-muda ikut berlatih, termasuk seorang bernama Huang Kuk-chan, yang menderita penyakit tukak lambung bertahun-tahun. Kuk-chan itulah yang kemudian boleh disebut salah seorang yang membuat waitankung menyebar luas.

Setelah sembuh dari tukak lambung, ia makin jatuh hati pada waitankung. Bahkan salah seorang anggota keluarga kaya pemilik hektaran tambak di Tainan - kota pantai di bagian selatan Taiwan - itu menyumbangkan 2 hektar tanah miliknya untuk waitankung ( mulai akhir tahun lalu di tanah ini dibangun semacam pusat waitankung ).

Tak cuma itu. Kuk-chan pun meninggalkan tambaknya untuk mengurusi senam tanpa tenaga ini. Dan, bila pemerintah Taiwan kemudian memperhatikan senam baru ini, Kuk-chan memang anggota DPR sana hingga sekarang. Dan kemudian dibentuklah Yayasan Waitankung. Salah satu kegiatan lembaga ini, yakni mengadakan semacam latihan masal selama sepekan.

Dalam latihan inilah Haji Chang Chih-tung langsung memberikan petunjuk - bukan cuma di lapangan, tapi juga ada semacam kuliah di dalam kelas. Misalnya yang baru-baru ini berlangsung, 30 Desember 1986 sampai 3 Januari 1987 di Taichung. Di lapangan bola Kota Taichung, sekitar 120 km selatan Taipei, Selasa pagi-pagi, 30 Desember 1986. Sekitar 200 orang dari berbagai bangsa - antara lain Indonesia, Malaysia, Singapura, Korea, Amerika Serikat, Meksiko - berderet rapi lima-lima ke belakang.

Mereka peserta latihan masal waitankung ke-26. Orang-orang itu tentu saja bukan pemula. Memang ada yang baru berlatih seminggu di negerinya, atau dua minggu, tapi kebanyakan telah berlatih beberapa bulan, bahkan beberapa tahun. Bila mereka bertemu di lapangan itu, semuanya berharap menerima pelajaran langsung dari Haji Chang Chih-tung untuk menyempurnakan gerak-gerak senam waitankung.

Tujuh atau delapan asisten suhu sibuk mengatur barisan, dan memberi petunjuk dalam bahasa Mandarin, lalu ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Di depan barisan sudah disiapkan panggung kecil komplet dengan corong suara. Ketika Haji Chih-tung muncul, dan langsung naik panggung, semua memberikan hormat. Dalam usia 66 tahun, dalam pakaian olah raga (training spak), laki-laki itu tampak masih gagah.

Ia berpidato dalam bahasa Mandarin, satu-satunya bahasa yang dikuasainya.

Seorang wanita 40-an tahun, mengenakan kaca mata lebar, tiba-tiba maju ke depan. Ia langsung mengambil tempat di samping panggung, mengambil sebuah corong suara, dan menerjemahkan pidato suhu ke bahasa Inggris. Ternyata, wanita itu kelahiran Hong Kong, kemudian jadi warga negara Meksiko, karena menikah dengan pria Meksiko. Ia hadir bersama suaminya.

Sebagaimana di Pusat Waitankung di Taipei, Chih-tung berpidato lugas. Tak ada humor, tak ada bunga kata-kata, langsung pada yang dimaksud. Maka, pidato pembukaan itu singkat saja. Dan lalu langsung ia memanggil seorang asistennya, wanita, dan memintanya memperagakan kedua belas jurus waitankung. Sementara itu, suhu memberikan komentar. Misalnya, "gerakan tak boleh kaku, tapi lemas, sedapat mungkin pikiran dikosongkan."

Lalu, "lupakan kerja rutin sehari-hari Saudara-saudara di negeri masing-masing, dan pusatkan perhatian pada waitankung agar kedatangan Saudara-saudara tidak sia-sia." Lalu dimulailah latihan bersama dengan aba-aba dari guru, dengan contoh gerakan dari asistennya tersebut. Dari jauh, Haji Chih-tung, pensiunan guru olah raga, memang tampak seperti sedang menghadapi anak-anak sekolah.

"Waitankung bukan pelajaran demokratis," katanya. "Maksud saya, gerak-gerak ini memang sudah begini, tak bisa ditawar-tawar lagi."

Di awal gerakan - yakni posisi berdiri tegak, kaki agak renggang, tangan di samping, jari-jari lemas menggelantung kecuali jari telunjuk agak lurus ke depan, dan pandangan lurus horisontal - guru memberi komentar,

"Getarkan tangan dan lengan, tenangkan pikiran."

Ketika tiba jurus merentangkan tangan dan sedikit menekuk lutut, ia berkomentar lagi, "Tangan ini mirip sayap burung. Telapak kaki sedikit diangkat. Perhatikan. Getaran tangan jangan memakai tenaga." Dan katanya lebih jauh, "Gerakan ini menyehatkan usus."

Memang, kedua belas jurus punya sasaran sendiri sendiri. Umpamanya jurus merentangkan tangan ke samping, telapak tangan menghadap ke atas, lalu jari dan lengan digetarkan. Inilah, konon, gerakan yang langsung merangsang peredaran darah agar lancar, dan menumbuhkan kekuatan badan.

Jurus kedua belas mungkin terlihat lucu. Para asisten suka menyebut jurus ini sebagai "manusia mesin berjalan". Kaki terentang, lutut dibengkokkan, idealnya hingga paha berposisi horisontal ( tapi tak usah dipaksakan bila tak kuat ). Punggung tegak, pandangan horisontal ke depan, tangan tergantung lurus tapi santai di samping tubuh, dan kelima jari terbuka dalam posisi agak miring ke depan. Lalu, mulailah lutut kanan diangkat dan melangkah ke depan dengan punggung tetap tegak, dan tangan tetap tergantung di samping, diam. Maju dengan cara itu tujuh langkah ke depan, lalu melangkah mundur tujuh langkah pula, hingga tiba di tempat semula. Siapa pun yang tak tahu ihwal waitankung tentulah merasa lucu melihat adegan ini.

Padahal, inilah jurus "langkah burung bangau", yang penting sebagai penutup latihan. Konon, langkah ini dimaksudkan sebagai cara melepaskan tenaga yang terhimpun dalam 11 jurus sebelumnya. "Tanpa melakukan jurus langkah bangau, tenaga tetap terkumpul di tubuh Anda malah susah merasa santai sehabis latihan. Anda justru akan merasa tak enak badan," tutur Haji Chang Chih-tung, dalam terjemahan wanita Meksiko itu.

Bimbingan langsung dari suhu selesai. Para peserta, yang dibagi dalam tujuh kelompok, diminta berlatih sendiri, dipimpin seorang asisten. Guru Chih-tung turun panggung, berlenggang ke arah belakang barisan. Dari arah belakang itulah ia mengawasi mereka yang berlatih. Terkadang suhu ini berdiri, diam, lalu melangkahkan salah satu kaki ke depan, kemudian menekuk lutut kaki yang berada di posisi belakang. Diam sejenak dalam posisi demikian, sambil meremas-remaskan kesepuluh jari tangannya. Entahlah, ini jurus keberapa. Kemudian, ia akan menghampiri murid-muridnya yang berusia antara 30-an dan 60-an itu, memberi petunjuk mereka yang membuat gerakan keliru. Tak peduli, si murid bermata sipit atau berkulit bule, guru tetap saja memberi petunjuk dalam bahasa Mandarin.

Tentu, ada yang kemudian malah bingung, tengok kiri tengok kanan, barangkali ada penerjemah datang. Tapi sia-sia, semua saja sibuk dengan diri sendiri dan kelompoknya. Lalu terlihatlah guru menggeleng-gelengkan kepala - dan tetap tanpa ekspresi: entah mengapa wajahnya yang bersih itu selalu hanya polos.

Latihan ini berlangsung hingga hampir tengah hari. Setelah acara makan siang bersama, tibalah pelajaran di dalam kelas. O, ya, di bawah tribun lapangan bola ini ruangan dibagi dalam kamar-kamar besar. Semacam baraklah. Ada ruang untuk makan bersama, ada kamar mandi dan kamar kecil, ada ruang tidur, ada pula yang diisi dengan kursi-kursi dan meja, diatur mirip sebuah kelas. Di situlah sebagian besar peserta diasramakan hingga latihan selesai.

Di dalam kelas, penjelasan suhu diterjemahkan dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jepang. Ini yang menyebabkan "kelas waitankung" ini terasa lama. Memang ada satu-dua murid tampak mengantuk. Tapi kebanyakan terlihat begitu antusias, bahkan banyak yang sambil mendengarkan membuat catatan pula. Mungkin karena Haji Chang Chih-tung bekas guru sekolah, cara dia memperagakan gerakan - oleh dirinya sendiri atau dengan pertolongan asistennya bisa dipahami dengan jelas.

Pelajaran teori ini lebih banyak membicarakan teknik gerakan dan manfaat gerakan-gerakan itu. Menggetarkan kedua tangan dan lengan dalam posisi satu tangan diangkat ke atas dan yang lain ke bawah, itulah cara membuat serasi kerja antara hati dan paru-paru.

Ada pula gerakan tangan mengepal ( jadi tak semua gerak waitankung menggetarkan tangan ), yang tujuannya melebarkan dada, dan membersihkan perut besar dan usus.

Sehabis pelajaran di dalam kelas itu, latihan lapangan segera dimulai lagi, hingga kira-kira pukul tiga. Lalu kembali ke kelas, untuk sekitar dua jam. Baru rombongan latihan masal angkatan ke-26 ini boleh bebas, sampai makan malam, sekitar pukul 7. Demikianlah, acara rutin hingga hari Sabtu, hari ujian, yang langsung dinilai oleh suhu. Bukan ujian perorangan, memang, tapi per kelompok.

Mengapa Taichung? Direncanakan, pusat latihan waitankung memang di Tainan, kota pantai jauh di selatan. Tapi pusat itu masih baru dalam taraf pembangunan. Sementara itu, latihan di Taipei, di gedung sekretariat Yayasan Waitankung, dianggap tak memadai. Sebagaimana olah raga yang lain, idealnya waitankung memang dilakukan di udara terbuka dan bersih.

Taichung, kota terbesar ketiga Taiwan, dipilih karena terletak di tengah-tengah, dengan suhu yang nyaman : tak terlalu dingin di musim dingin, dan bila musim panas tiba, pun tak terlalu panas. Dan, ini terutama, Taichung, yang memiliki sebuah Universitas Tunghai yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu, yang dibangun dengan gaya zaman Dinasti Tang, cuma memiliki sedikit pabrik.

Singkat kata, udara kota ini sangat bersih, lebih bersih dibandingkan dengan kota-kota lain di Taiwan. Udara terbuka, dalam olah raga tradisional Cina, bukan saja dibutuhkan. Tapi tampaknya ada nilai, katakanlah, mistis - percaya atau tidak. Dalam salah satu penjelasan di dalam kelas, Guru Chih-tung mengatakan, melakukan waitankung di bawah langit itu ideal. Sebab, bila kita berdiri di tanah dengan atap langit, ketika pikiran tenang, "Kita menyatukan bumi dan langit di dalam tubuh".

Dalam posisi seperti itulah orang yang mempraktekkan waitankung lebih mudah memperoleh hawa murni daripada yang mengerjakannya di dalam rumah. Hawa murni? Itulah ketika melakukan senam tanpa tenaga ini lalu terasa ada aliran hangat mengalir di sekujur tubuh. Ini dipercaya oleh pengobatan tradisional Cina sebagai cara menyehatkan, mempersegar, dan menambah daya tahan badan.

Chang Chih-tung itu, misalnya, di awal mempraktekkan ilmu yang beribu tahun terpendam ini mengalaminya di hari kesembilan. Dan lalu ia merasa segar, dan kemudian penyakit malarianya sembuh. Toh, Haji Chih-tung, hingga latihan masal ke-26, tak jelas-jelas menyebutkan bahwa waitankung menyembuhkan penyakit.

Bahkan ia menganjurkan, bila merasa mempunyai penyakit ini atau itu, sebaiknya memeriksakan ke dokter dulu sebelum latihan.

Semoga Bermanfaat…
Salam Sehat Sejahtera Selalu,
Disalin Oleh : niniekSS
Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1987/01/24/SEL/mbm.19870124.SEL33159.id.html

No comments:

Post a Comment