Al - Barzanji - Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H di Madinah
Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shorof, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (membacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam
Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.
Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.
Hukum Peringatan Maulid Nabi.
Imam Jalaluddin as Suyuti (wafat 911 H) ketika ditanya tentang hukum perayaan maulid Nabi Saw berkata: ”Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan (ihtifal) maulid Nabi Saw pada bulan Rabi’ul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara’? Apakah terpuji atau tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak?
”Jawabannya menurut saya adalah bahwa gambaran perayaan maulid nabi ialah manusia berkumpul, membaca al Quran dan kisah-kisah teladan Nabi saw sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya mendapatkan pahala karena mengagungkan derajat Nabi Saw, menampakkan kegembiraan atas kelahiran beliau yang mulia”. (Al Hawy lil Fatawy Juz I hal. 251-252).
Ekspresi kegembiraan atas kelahiran Nabi Saw, adalah tuntunan dari Al Qur’an, sebagaimana firman Allah Swt dalam Surat Yunus ayat 58 :
يَجْمَعُونَ مِّمَّا خَيْرٌ هُوَ فَلْيَفْرَحُواْ فَبِذَلِكَ وَبِرَحْمَتِهِ اللّهِ بِفَضْلِ قُلْ
-٥٨-
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud fadlullah dalam surat Al Anbiya ayat 58 di atas adalah ilmu, sedangkan yang dimaksud rahmatullah dalam ayat yang sama adalah Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang termuat dalam surat Al Anbiya’ ayat 107. Jadi, bergembira dan syukur atas kelahiran dan terutusnya Nabi Muhammad Saw adalah tuntutan syara’.
Adapun salah satu cara mengekspresikan hal tersebut adalah dengan maulid Nabi Saw. Posisi upacara peringatan maulid Nabi Saw adalah sebagai salah satu wasilah (sarana) untuk mengkondisikan diri seseorang mencapai tujuan (maqasid); yaitu bersyukur dan bergembira atas kehadiran beliau. Di sinilah penerapan kaidah lil wasa-il hukmul maqaasid.
Terkait dengan tuntunan untuk membaca shalawat atas Nabi Saw, banyak sekali informasi yang bisa kita peroleh dari hadits Nabi Saw, di antaranya Hadits Shahih Riwayat Imam Muslim :
« مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا ».
Rasulullah saw bersabda: “barangsiapa membaca shalawat atasku satu kali, Allah memberikan rahmatnya sepuluh kali lipat”
Sementara terkait dengan ekspresi kegembiraan dalam Haflah Maulid Nabi, Imam Bukhori mencatat ilustrasi bahwa setiap hari Senin, siksaan Abu Lahab diperingan oleh Allah swt, disebabkan ia telah memerdekakan budak perempuannya sebagai ekspresi kebahagiaan ketika sang budak mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Muhammad Saw.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shahih-nya pada pasal nikah, kemudian dinukil pula oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al Bary. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abdurrazak ash Shan’any dalam Al Mushannaf, Al Hafidz al Baihaqi dalam ad Dala-il, Ibnu Katsir dalam as Sirah an Nabawiyyah min al Bidayah, Ibnu Daiba’ Asy Syaibany dalam Hada-iq al Anwar, Al Baghawy dalam Syarh as Sunnah, Ibnu Hisyam dan Suhaily dalam kitab Ar Raudl Al Anf, dan Imam Al Amiry dalam kittab Bahjatul Mahafil juz l hal. 4l.
Walaupun berupa riwayat mursal, demikian as Sayyid Muhammad Alawy Al Maliki al Hasany—akan tetapi riwayat tersebut dapat diterima (maqbul) dengan alasan karena Al Bukhary juga meriwayatkannya, dan seperti inilah yang dijadikan pegangan para ulama, di samping alasan bahwa kesan dan pesan riwayat tersebut tidak terkait dengan hukum halal-haram, tapi lebih kepada sisi sifat, karakteristik persona/biografi Nabi Saw. Tentunya, orang yang memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah hukum, pasti mengetahui bagaimana menempatkan hadits sebagai dalil atas hal-hal yang menyangkut aspek hukum dan yang tidak bersinggungan dengan aspek hukum sama sekali, sehingga logika dan produk pemikirannya tidak rancu. Wallahu A’lam.
Akhirnya, perayaan maulid secara seremonial memang belum ada pada masa Rasulullah Saw, sehingga dikatakan bid’ah. Akan tetapi bid’ah hasanah, karena hal tersebut masih dalam bingkai dalil-dalil syari’ah dan kaidah-kaidah umum agama Islam sebagaimana telah penulis uraikan. Praktik tersebut dikatakan bid’ah jika dilihat dari sisi pelaksanaannya secara bersama-sama/kolektif, bukan dilihat dari persona-persona yang telah melakukannya pada masa Nabi Saw.
Menurut sebuah hadits, Nabi Saw sendiri mengagungkan hari lahirnya, seraya bersyukur kepada Allah atas anugerah yang diberikan kepadanya. Hal tersebut diekspresikan Nabi Saw dengan melaksanakan puasa, sebagaimana dalam Hadits dari Abu Qatadah: ”bahwa rasulullah saw ditanya tentang puasa hari Senin, maka Nabi Saw menjawab:
”Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu pula al Qur’an diturunkan kepadaku” (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).
Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw dalam riwayat dimaknai ihtifal/perayaan atas kelahiran beliau. Dalam tataran adat setempat, teknis pelaksanaa Maulid Nabi Saw bisa berbeda-beda, akan tetapi memiliki esensi (maqasid) yang sama baik diwujudkan dengan cara (wasa-il) puasa, sedekah, melakukan majlis dzikir, pembacaan shalawat atas Nabi Saw serta dengan cara membaca atau mendengarkan sejarah perjalanan hidup beliau.
Wallohu a’lam bish-showab.
Purworejo, 15 Rabi’ul Awal 1434 H / 27 Januari 2013 M
Zakaria Al-Falahuts-Tsani
Sementara terkait dengan ekspresi kegembiraan dalam Haflah Maulid Nabi, Imam Bukhori mencatat ilustrasi bahwa setiap hari Senin, siksaan Abu Lahab diperingan oleh Allah swt, disebabkan ia telah memerdekakan budak perempuannya sebagai ekspresi kebahagiaan ketika sang budak mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Muhammad Saw.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shahih-nya pada pasal nikah, kemudian dinukil pula oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al Bary. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abdurrazak ash Shan’any dalam Al Mushannaf, Al Hafidz al Baihaqi dalam ad Dala-il, Ibnu Katsir dalam as Sirah an Nabawiyyah min al Bidayah, Ibnu Daiba’ Asy Syaibany dalam Hada-iq al Anwar, Al Baghawy dalam Syarh as Sunnah, Ibnu Hisyam dan Suhaily dalam kitab Ar Raudl Al Anf, dan Imam Al Amiry dalam kittab Bahjatul Mahafil juz l hal. 4l.
Walaupun berupa riwayat mursal, demikian as Sayyid Muhammad Alawy Al Maliki al Hasany—akan tetapi riwayat tersebut dapat diterima (maqbul) dengan alasan karena Al Bukhary juga meriwayatkannya, dan seperti inilah yang dijadikan pegangan para ulama, di samping alasan bahwa kesan dan pesan riwayat tersebut tidak terkait dengan hukum halal-haram, tapi lebih kepada sisi sifat, karakteristik persona/biografi Nabi Saw. Tentunya, orang yang memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah hukum, pasti mengetahui bagaimana menempatkan hadits sebagai dalil atas hal-hal yang menyangkut aspek hukum dan yang tidak bersinggungan dengan aspek hukum sama sekali, sehingga logika dan produk pemikirannya tidak rancu. Wallahu A’lam.
Akhirnya, perayaan maulid secara seremonial memang belum ada pada masa Rasulullah Saw, sehingga dikatakan bid’ah. Akan tetapi bid’ah hasanah, karena hal tersebut masih dalam bingkai dalil-dalil syari’ah dan kaidah-kaidah umum agama Islam sebagaimana telah penulis uraikan. Praktik tersebut dikatakan bid’ah jika dilihat dari sisi pelaksanaannya secara bersama-sama/kolektif, bukan dilihat dari persona-persona yang telah melakukannya pada masa Nabi Saw.
Menurut sebuah hadits, Nabi Saw sendiri mengagungkan hari lahirnya, seraya bersyukur kepada Allah atas anugerah yang diberikan kepadanya. Hal tersebut diekspresikan Nabi Saw dengan melaksanakan puasa, sebagaimana dalam Hadits dari Abu Qatadah: ”bahwa rasulullah saw ditanya tentang puasa hari Senin, maka Nabi Saw menjawab:
”Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu pula al Qur’an diturunkan kepadaku” (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).
Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw dalam riwayat dimaknai ihtifal/perayaan atas kelahiran beliau. Dalam tataran adat setempat, teknis pelaksanaa Maulid Nabi Saw bisa berbeda-beda, akan tetapi memiliki esensi (maqasid) yang sama baik diwujudkan dengan cara (wasa-il) puasa, sedekah, melakukan majlis dzikir, pembacaan shalawat atas Nabi Saw serta dengan cara membaca atau mendengarkan sejarah perjalanan hidup beliau.
Wallohu a’lam bish-showab.
Purworejo, 15 Rabi’ul Awal 1434 H / 27 Januari 2013 M
Zakaria Al-Falahuts-Tsani